Apa mungkin hutan bakau dilestarikan? Mungkin saja, kalau
ada kemauan yang besar dari masyarakat penghuni pantai. Dulu, ketika hutan
masih lebat karena tidak diusik semena-mena oleh pendatang serakah dari luar
daerah, hutan itu dihuni oleh berbagai jenis fauna yang ramai. Berbagai burung
air seperti pecuk, cangak, kuntul, cekakak, masih banyak yang meramaikan hutan.
Bersama berbagai reptil (seperti ular, biawak, buaya), udang, kepiting, dan
ikan, mereka memberi manfaat yang lestari sepanjang masa bagi umat manusia. Semua
hasil fauna dan flora hutan itu dipungut sebagian demi sebagian oleh masyarakat
penghuni pantai. Ada yang dijual ke masyarakat kita di kota, seperti udang,
kepiting, dan arang bakau-bakau.
Hutan itu juga merupakan benteng pertama kita terhadap
pengikisan pantai oleh air laut. Tidak segan-segan air ini merembes ke arah
daratan, membuat sumur jadi payau. Akar pohon bakau-bakau mampu menangkal
terpaan ombak ganas yang berkali-kali menghantam pantai. Daratan di belakangnya
dilindungi.
Sayang seribu sayang, hutan yang bermanfaat semacam itu di
Indonesia sudah banyak yang dirusak oleh pendatang dari daerah lain yang
membabat hutan itu untuk membangun tambak udang komersial secara besar-besaran.
Hutan bakau di dekat kota malah digusur untuk membangun tempat permukiman
mewah.
Udang memang melimpah dari tambak komersial itu, tetapi
hanya sebentar. Sesudah itu, produksi menurun, dan tambak udang ditelantarkan.
Dibabat lagi hutan bakau yang baru, dan dibuat tambak lagi. Begitu seterusnya,
pembabatan hutan seperti perladangan berpindah di Kalimantan terjadi di pantai
hutan bakau. Bedanya, di hutan bakau ini tidak ada usaha penghutanan kembali.
Hutan itu sendiri sebenarnya sudah mencoba menghutan kembali
secara alamiah. Tetapi apa daya, anak-anak bakau yang tumbuh tidak jauh dari
pohon induknya (sisa-sisa yang masih bertahan), tidak dipelihara lebih lanjut.
Anak-anak bakau ini buyar diterpa badai dan ombak laut karena tidak terlindungi
oleh pohon induk yang besar di dekatnya. Induk bakau sudah langka.
Pada waktu keadaan sudah parah seperti itulah, terbetik
berita ada usaha kompromi antara bisnis menguras sumber daya alam dan usaha
pelestarian hutan bakau yang nirlaba. Antara lain berupa sylvofishery (semacam
perikanan pakai hutan). Tambak dibangun berpetak-petak dengan parit keliling
sebagaimana mestinya. Di bagian tengahnya yang lebih dangkal ditanami beberapa
pohon bakau. Masyarakat diminta menjaga tanaman itu, jangan sampai dibabat
semena-mena seperti dulu lagi. Biarlah hutan itu menghutan yang lebat dulu.
Sebagai insentif, mereka boleh memungut hasil ikan dan udang yang benihnya
sengaja ditebar dalam petakan tambak.
Selain pelestarian melalui sylvofishery itu, ditetapkan pula
peraturan untuk melindungi hutan bakau yang masih ada. Misalnya di daerah
konservasi yang ditetapkan bagi setiap hutan bakau selebar 200 m dari garis
pantai. Ada ketetapan pula yang mengatur penebangan/pengambilan kayu dari pohon
bakau yang sudah besar, agar tidak melampaui kemampuan tumbuh hutan bakau.
Daerah hutan bakau yang cocok untuk wisata alam, dijadikan
lokasi wisata, antara lain untuk mengamati kehiduapn burung pantai dan keunikan
flora hutan bakau.
Dengan berbagai cara pelestarian itu, diharapkan agar tidak
akan terjadi banjir lagi seperti di daerah Bandar Udara Soekarno-Hatta baru-baru
ini. Bencana alam semacam itu akan terjadi lagi, kalau hutan bakau kita terus
dirusak dan tidak dilestarikan kembali. (Hanom Bashari, S.Hut., anggota
Rimbawan Pencinta Alam, Bogor)
Sumber: indomedia.com
Sumber : http://www.agromaret.com/artikel/121/pelestarian_hutan_bakau
Muantappp banget beritanya... semoga makin sukses.
ReplyDelete